Ilmu Komunikasi UM Gandeng AJI Malang Bahas Relasi Kuasa dan Tantangan Kemerdekaan Pers di Indonesia

Peringatan Hari Kemerdekaan Pers Dunia 2025, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang (UM) berkolaborasi dengan AJI Malang angkat tema “Pers Merdeka Demokrasi Terjaga” bahas tantangan kebebasan pers di Indonesia.


Malangdata.com – Dalam rangka memperingati World Press Freedom Day atau Hari Kemerdekaan Pers Dunia, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang (UM) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang menyelenggarakan seminar bertajuk “Pers Merdeka, Demokrasi Terjaga”, Senin (5/5/2025), di Lantai 2 Perpustakaan UM.

Acara ini menjadi ruang refleksi penting mengenai kondisi jurnalisme dan kebebasan pers di Indonesia, khususnya dalam menghadapi relasi kuasa dan kepentingan politik yang membayangi ruang redaksi.

Dosen Ilmu Komunikasi UM, Akhirul Aminulloh, menegaskan bahwa kebebasan pers di Indonesia belum berjalan optimal karena masih lemahnya daya kritis masyarakat. “Narasi kekuasaan masih dianggap benar karena masyarakat belum cukup terdidik. Pendidikan publik adalah pondasi utama kemerdekaan pers,” ujarnya.

Akhirul juga menyoroti persoalan relasi kuasa dalam media yang terjadi tidak hanya di level nasional, tetapi juga di ruang-ruang lokal. Ia mengkritisi fenomena masuknya jurnalis ke dunia politik yang berpotensi menjadikan media sebagai alat kekuasaan, bukan alat kontrol demokrasi.

“Banyak jurnalis masuk ke politik bukan demi idealisme, tapi karena tahu di mana ‘lahan basah’. Ketika media tidak mengganggu penguasa, mereka aman. Tapi begitu mengusik, ancamannya bisa berupa intimidasi bahkan kekerasan,” jelasnya.

Akhirul Aminulloh, dosen Ilmu Komunikasi UM, tekankan pentingnya kualitas pendidikan dan pemberitaan dalam menjaga kemerdekaan pers, didampingi Wahyu Nurdianto dari AJI Malang yang ajak semua pihak perkuat peran pers sebagai pilar demokrasi.

Sementara itu, Wahyu Nurdianto, anggota AJI Malang, mengangkat isu krusial terkait kepemilikan media yang terafiliasi dengan partai politik. Menurutnya, hal ini secara langsung memengaruhi independensi redaksi.

“Seringkali ruang redaksi ditelepon untuk mencabut berita yang dianggap merugikan pemilik. Ini membuktikan bahwa kebebasan pers kita masih jauh dari ideal,” tegas Wahyu.

Ia juga mengungkapkan data terkini dari AJI Indonesia, bahwa pada Mei 2025 tercatat 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dan survei menunjukkan 75,1 persen jurnalis di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Indeks kebebasan pers Indonesia juga menurun tajam: dari peringkat 108 (2023), 111 (2024), kini berada di posisi 127 dari 180 negara pada 2025.

“Penurunan ini menunjukkan iklim jurnalisme di Indonesia sedang tidak sehat. Tapi perlawanan tidak bisa dilakukan sendirian. Kita perlu sinergi antara jurnalis, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat,” tandas Wahyu.

Seminar ini menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah pilar utama demokrasi yang membutuhkan dukungan pendidikan kritis, media independen, dan masyarakat yang sadar informasi. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung elite.

Penulis: Doddy Rizky

Editor: Julio Kamaraderry

Sumber: -

© 2024 Malangdata.com